selamat datang

selamat datang di Laksana's Blog of Nursing..
maaf masih jauh dari sempurna,,

Kamis, 29 Desember 2011

kelenjar hipofise


Diabitus insipidus


A. Pengertian
Diabitus insipidus adalah gangguan metabolisme air karena kekurangan Anti Diuretik Hormon.
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan, penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat menganggu mekanisme neurohypophyseal – renal reflex sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengkoversi air
Diabetes insipidus adalah pengeluaran cairan dari tubuh dalam jumlah yang banyak yang disebabkan oleh dua hal :
·         Gagalnya pengeluaran vasopressin
·         Gagalnya ginjal terhadap rangsangan AVP.

B. Etiologi
1. Diabitus insipidus central atau neurogenik.
Ø Kelainan hipotalumus dan kelenjar pituetary posterior karena familial atau idiopatic. Disebut diabitus insipidus primer.
Kerusakan kelenjar karena tumor pada area hipotalamus – pituitary,Ø trauama, proses infeksi, gangguan aliran aliran darah, tumor metastase dari mamae atau paru di sebut diabitus insipidus sekunder.
Ø Pengaruh obat yang dapat mempengaruhi sintesis dan sekresi ADH seperti phenitoin, alkohol, lithium carbonat.
1. Diabitus insipidus Nephrogenik
Ø Suatu defec yang diturunkan.
Ø Tubulus ginjal tidak berespon terhadap ADH
C. Patofisiologi
Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di nucleus supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan-badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju ke ujung-ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic. Suatu peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin. Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik. Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yang sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O.
Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing.
Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma kan merangsang pusat haus, dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak (polidipsia).
Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes insipidus sentral, dimana gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan diabetes insipidus nefrogenik, dimana gangguannya adalah karena tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopresin.
Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan oleh kegagalan pelepasan hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan.
DIS dapat juga terjadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan bahwa DIS dapat juga terjadi karena terbentuknya antibody terhadap ADH.

D. Manifestasi klinik
Diabitus insipidus dapat terjadi secara perlahan lahan atau secara cepat setelah trauma atau proses infeksi. Gejala utamanya adalah:
1. Poliuria sangat encer ( 4- 30 liter ) dengan berat jenis 1.001-1.005
2. Polidipsi 5- 10 lt/hari
3. Gejala dehidrasi( turgor kulit jelek, bibir kering dll)
4. Hiperosmolar serum
5. Hipoosmolar urine
E. Managemen medis
1. Terapi cairan parenteral
2. Jika hanya kekurangan ADH, dapat diberikan obat Clorpropamide, clofibrate untuk merangsang sintesis ADH di hipotalamus.
3. Jika berat diberikan ADH melalui semprotan hidung dan diberikan vasopresin( larutan pteresine.
F. Pengkajian Keperawatan
a. Riwayat :
trauma kepala, pembedahan kepala, pemakaian obat phenotoin, lithium karbamat, infeksi kranial, tumor paru, mamae Riwayat keluarga menderita kerusakan tubulus ginjal atau penyakit yang sama.b. Pemeriksaan fisik
Gastro intestinal : polidipsi, BB turun Kardiovaskular : tanda dehidrasi( nadi cepat, TD turun, dll) Respirasi : tanda dehidrasi ( napas cepat, pucat ) Renal : poliuria 5-30 lt/hari, sering berkemih, nocturia Integumen: membran mukosa dan kulit kering, turgor tidak elastis.c. Pemeriksaan penunjang:
Hiperosmolar serum Hipoosmolar urine BJ urine kurang dari 1.005 Gangguan elektrolit.

G. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Kurangnya volume cairan bd ketidakmampuan tubulus ginjal mengkonsen-trasikan urine sekunder tidak adanya ADH
KH :
Intake output seimbang Intake kurang dari 2500 ml/hari Output urine lebih atau sama 100 ml/jam BJ urine dbn BB dbn Tanda vital dbnIntervensi :
Ø Berikan intake cairan peroral
Ø Berkan terapi cairan sesuai program
Ø Monitor intake output tiap 2 jam
Ø Ukur BB tiap hari
Ø Cek/analisis BJ urine
Kaji tanda hipovolume: tachicardi, turgor kulittak elestis, denutØ nadi lemah, TD turun, kulit dingin, mukosa kering,suhu tubuh naik, perubahan status mental
Ø Berikan ADH terapi sesuai program
Ø Observasi efek ADH: hipertensi, nyeri dada, cram uterus, peristaltik naik, overhidrasi, sakit kepala.
2. Kurangnya pengetahuan bd tidak adanya informasi tentang proses penyakit, tindakan dan perawatan diri.
KH : Klien mengatakan mengetahui tentang :
penyakit pengobatan gejala-gejala yg dilaporkan perlunya memakai tanda pengenal cara mengukur intake output dan BJ urineIntervensi :
Ø Jelaskan konsep penyakit
Ø Berikan penkes tentang nama obat, dosis, waktu dan cara pemakian, efek samping, cara mengukur BJ urine dan intake output
Ø Anjurkan memperhatikan intake output.
Ø Berikan penjelasan supaya tidak minum kopi, alkohol dan the.
Ø Anjurkan kontrol secara teratur.
Ø Jelaskan perlunya memakai tanda pengenal.

Jumat, 18 November 2011

ASKEP hemofilia pada anak


HEMOFILIA

A.     Definisi
Hemofilia adalah penyakit koagulasi darah kongenital karena anak kekurangan faktor pembekuan VIII (Hemofilia A) atau faktor IX (Hemofilia B).

B.     Etiologi
Penyebab Hemofilia adalah karena anak kekurangan faktor pembekuan VIII (Hemofilia A) atau faktor IX (Hemofilia B).

C.     Pathofisiologi
Hemofilia merupakan penyakit kongenital yang diturunkan oleh gen resesif x-linked dari pihak ibu.
Faktor VIII dan faktor IX adalah protein plasma yang merupakan komponen yang diperlukan untuk pembekuan darah, faktor-faktor tersebut diperlukan untuk pembentukan bekuan fibrin  pada tempat pembuluh cidera.
Hemofilia berat terjadi apabila konsentrasi faktor VIII dan faktor IX plasma kurang dari 1 %.
Hemofilia sedang jika konsentrasi plasma 1 % - 5 %.
Hemofilia ringan apabila konsentrasi plasma 5 % - 25 % dari kadar normal.
Manifestasi klinis yang muncul tergantung pada umur anak dan deficiensi faktor VIII dan IX.
Hemofilia berat ditandai dengan perdarahan kambuhan, timbul spontan atau setelah trauma yang relatif ringan.
Tempat perdarahan yang paling umum di dalam persendian lutut, siku, pergelangan kaki, bahu dan pangkal paha.
Otot yang tersering terkena adalah flexar lengan bawah, gastrak nemius, & iliopsoas.


D.     Manifestasi Klinis
1.       Masa Bayi (untuk diagnosis)
a.       Perdarahan berkepanjangan setelah sirkumsisi
b.       Ekimosis subkutan di atas tonjolan-tonjolan tulang (saat berumur 3-4 bulan)
c.       Hematoma besar setelah infeksi
d.      Perdarahan dari mukosa oral.
e.       Perdarahan Jaringan Lunak
2.       Episode Perdarahan (selama rentang hidup)
a.       Gejala awal      : nyeri
b.       Setelah nyeri    : bengkak, hangat dan penurunan mobilitas)
3.       Sekuela Jangka Panjang
Perdarahan berkepanjangan dalam otot menyebabkan kompresi saraf dan fibrosis otot.

E.     Komplikasi
1.       Artropati progresif, melumpuhkan
2.       Kontrakfur otot
3.       Paralisis
4.       Perdarahan intra kranial
5.       Hipertensi
6.       Kerusakan ginjal
7.       Splenomegali
8.       Hepatitis
9.       AIDS (HIV) karena terpajan produk darah yang terkontaminasi.
10.   Antibodi terbentuk sebagai antagonis terhadap faktor VIII dan IX
11.   Reaksi transfusi alergi terhadap produk darah
12.   Anemia hemolitik
13.   Trombosis atau tromboembolisme


F.      Uji Laboratorium dan Diagnostik
1.       Uji Laboratorium (uji skrining untuk koagulasi darah)
a.       Jumlah trombosit (normal)
b.       Masa protrombin (normal)
c.       Masa trompoplastin parsial (meningkat, mengukur keadekuatan faktorkoagulasi intrinsik)
d.      Masa perdarahan (normal, mengkaji pembentukan sumbatan trombosit dalam kapiler)
e.       Assays fungsional terhadap faktor VIII dan IX (memastikan diagnostik)
f.        Masa pembekuan trompin
2.       Biapsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk memperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi dan kultur.
3.       Uji fungsi hati (SGPT, SGOT, Fosfatase alkali, bilirubin


G.    Pengkajian Keperawatan
  1. Pengkajian sistem neurologik
a.       Pemeriksaan kepala
b.       Reaksi pupil
c.       Tingkat kesadaran
d.      Reflek tendo
e.       Fungsi sensoris
  1. Hematologi
a.       Tampilan umum
b.       Kulit : (warna pucat, petekie, memar, perdarahan membran mukosa atau dari luka suntikan atau pungsi vena)
c.       Abdomen (pembesaran hati, limpa)
  1. Kaji anak terhadap perilaku verbal dan nonverbal yang mengindikasikan nyeri
  2. Kaji tempat terkait untuk menilai luasnya tempat perdarahan dan meluasnya kerusakan sensoris, saraf dan motoris.
  3. Kaji kemampuan anak untuk melakukan aktivitas perawatan diri (misal : menyikat gigi)
  4. Kaji tingkat perkembangan anak
  5. Kaji Kesiapan anak dan keluarga untuk pemulangan dan kemampuan menatalaksanakan program pengobatan di rumah.
  6. Kaji tanda-tanda vital (TD, N, S, Rr).

H.     Diagnosa Keperawatan
1.       Risiko injuri b.d perdarahan
2.       Nyeri b.d perdarahan dalam jaringan dan sendi
3.       Risiko kerusakan mobilitas fisik b.d efek perdarahan pada sendi dan jaringan lain.
4.       Perubahan proses keluarga b.d anak menderita penyakit serius


I.        Intervensi Keperawatan
DP I
Tujuan       : Menurunkan risiko injuri
Intervensi :
1.       Ciptakan lingkungan yang aman dan memungkinkan proses pengawasan
2.       Beri dorongan intelektual / aktivitas kreatif
3.       Dorong OR yang tidak kontak (renang) dan gunakan alat pelindung : helm
4.       Dorong orang tua anak untuk memilih aktivitas yang dapat diterima dan aman
5.       Ajarkan metode perawatan / kebersihan gigi.
6.       Dorong remaja untuk menggunakan shaver hindari ROM pasif setelah episode perdarahan akut.
7.       Beri nasehat pasien untuk mengenakan identitas medis.
8.       Beri nasehat pasien untuk tidak mengkonsumsi aspirin, bisa disarankan menggunakan Asetaminofen.

DP I         
Tujuan       : Sedikit atau tidak terjadi perdarahan
Intervensi  :
1.       Sediakan dan atur konsentrat faktor VIII + DDAVP sesuai kebutuhan.
2.       Berikan pendidikan kesehatan untuk pengurusan penggantian faktor darah di rumah.
3.       Lakukan tindakan suportif untuk menghentikan perdarahan
·         Beri tindakan pada area perdarahan 10 – 15 menit.
·         Mobilisasi dan elevasi area hingga diatas ketinggian jantung.
·         Gunakan kompres dingin untuk vasokonstriksi.

DP II
Tujuan        : Pasien tidak menderita nyeri atau menurunkan intensitas atau skala nyeri yang dapat diterima anak.

Intervensi  :
1.       Tanyakan pada klien tengtang nyeri yang diderita.
2.       Kaji skala nyeri.
3.       Evaluasi perubahan perilaku dan psikologi anak.
4.       Rencanakan dan awasi penggunaan analgetik.
5.       Jika injeksi akan dilakukan, hindari pernyataan “saya akan memberi kamu injeksi untuk nyeri”.
6.       Hindari pernyataan seperti “obat ini cukup untuk orang nyeri”.
7.       “Sekarang kamu tidak membutuhkan lebih banyak obat nyeri lagi”.
8.       Hindari penggunaan placebo saat pengkajian/ penatalaksanaan nyeri.

DP III
Tujuan       : Menurunkan resiko kerusakan mobilitas fisik.
Intervensi  :
1.       Elevasi dan immobilisasikan sendi selama episode perdarahan.
2.       Latihan pasif sendi dan otot.
3.       Konsultasikan dengan ahli terapi fisik untuk program latihan.
4.       Konsultasikandengan perawat kesehatan masyarakat dan terapi fisik untuk supervisi ke rumah.
5.       Kaji kebutuhan untuk manajemen nyeri.
6.       Diskusikan diet yang sesuai.
7.       Support untuk ke ortopedik dalm rehabilitasi sendi.

DP IV
Tujuan       : Klien dapat menerima support adekuat.
Intervensi  :
1.       Rujuk pada konseling genetik untuk identifikasi kerier hemofilia dan beberapa kemungkinan yang lain.
2.       Rujuk kepada agen atau organisasi bagi penderita hemofilia.


DAFTAR PUSTAKA

1.       Cecily. L Betz, 2002, Buku Saku Keperawatan Pediatri, Alih bahasa Jan Tambayong, EGC, Jakarta.

2.       Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 1, Infomedika, Jakarta.

3.       Sodeman, 1995, Patofisiologi Sodeman : Mekanisme Penyakit, Editor, Joko Suyono, Hipocrates, Jakarta.

4.       Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius, FKUI, Jakarta.